Teori Nilai
A. Latar
Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan
manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya
nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan
berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus
manusia diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan
dengan nilai. Semua yang dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang
bernilai. Salah satu kajian di dalam filsafat adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka manusia akan
berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul
pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita
menilainya karena benda itu bernilai?”. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai dimensi
aksiologi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian aksiologi?
2.
Bagaimana konsep
nilai, karakteristik dan tingkatan nilai?
3.
Bagaimana
jenis, hakikat, dan makna nilai?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian aksiologi.
2.
Untuk
memahami konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai.
3.
Untuk
mengetahui jenis, hakikat, dan makna nilai.
A. Pengertian
Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa
Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios” yang artinya layak;
pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa
pengertian secara istilah, yaitu:
- Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari
sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh
manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis,
emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah
fenomena kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan
psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b. Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat
dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat
nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan
agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi,
cabang filsafat yang mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad
ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti epistimologis, etika, dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah
sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang
menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat
ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus
Filsafat menjelaskan tentang nilai yaitu sebagai berikut:
1.
Nilai dalam
bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya,
berlaku, kuat).
2.
Nilai ditinjau
dari segi Harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai,diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
3.
Nilai ditinjau
dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai
sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak
bernilai” atau “nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya
(jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
4.
Nilai ditinjau
dari seudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali mengunakan secara umum kata “nilai”.
Kattsoff
dalam Soejono Soemargono (2004:318),
mengatakan bahwa nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan
kata baik, walaupun fakta baiknya, bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik
(what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
B. Konsep
Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan
komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui
fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud
apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka
nilai harus merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam
sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula
dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun
1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber
nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai
melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki
nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.
1. Persoalan
Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan
sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan
atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling
meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di
antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu,
dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat
persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan
teringat peribahasa latin yang sering diucapkan: “selera tidak dapat
diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis
de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat
yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat
menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama
aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang
persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang
telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin
berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang
menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu
alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).
2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat
dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena
kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut
memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai
kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena
kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi
reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai
terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau
subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti
itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar
tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika
ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai
itu“subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya
merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif
(kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui
ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar
atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat
dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek
seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa
nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada dalam dunia
nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau
hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai
adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh
argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi
itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas
Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling,
Alexander, dan lain-lain.
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan
pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan
ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau
situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai
memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung
mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan
kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu
nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan
pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme
aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume,
Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai
dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta
akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat
(subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam
arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme
aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.
4. Nominalisme
atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada
pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha
untuk membujuk yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah
mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan.
Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau
suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara
makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula
emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu
yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara
faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu
subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain:
Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai
dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze
(1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai.
Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya,
tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat
nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan
tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan
sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata
dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme
nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih
baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada
(al-mawjud).
6. Nilai
dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung
pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi,
nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada
eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan
emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan
irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri
khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal
seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual
selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
C. Karakteristik
dan Tingkatan Nilai
Ada beberapa
karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisik.
2. Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi,
apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau, serta akan
berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak
lain, ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan
atau harapan manusia.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan
dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1.
Kaum
Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap
tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada nilai non
spiritual (niai material).
2.
Kaum
Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan
empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas
objektif, hukum-hukum alam, dan aturan berfikir logis.
3.
Kaum
Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan
baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan
memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang
menghargai masyarakat.
D. Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat
kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
a. Etika dan Pendidikan
·
Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani)
yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam
bidang etika menyebutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti
kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis
tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Jadi,
etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang
perilaku manusia.
·
Filsafat
Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki
hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk
mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit
membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika
agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat
dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan
etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari
perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu
siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem
pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral-pendidikan
Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan
pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap
memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang
dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
b. Estetika dan Pendidikan
·
Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
·
Filsafat
Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan
kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia
pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada
tiga interpretasi tentang hakikat seni:
1.
Seni
sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2.
Seni
sebagai alat kesenangan.
3.
Seni sebagai
ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah
nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan
yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan
pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan
kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
E.
Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan,
undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki
harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada
dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul
sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa
macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan
yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu
harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah),
mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai
tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang
diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Filsafat
nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala
yang bernilai secara filosofis, mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada
hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Disamping itu, aksiologi berhubungan dengan
etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun
obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau
buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga
dengan mengetahui nilai maka tercapailah ap
A. Latar
Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan
manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya
nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan
berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus
manusia diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan
dengan nilai. Semua yang dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang
bernilai. Salah satu kajian di dalam filsafat adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka manusia akan
berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul
pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita
menilainya karena benda itu bernilai?”. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai dimensi
aksiologi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian aksiologi?
2.
Bagaimana konsep
nilai, karakteristik dan tingkatan nilai?
3.
Bagaimana
jenis, hakikat, dan makna nilai?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian aksiologi.
2.
Untuk
memahami konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai.
3.
Untuk
mengetahui jenis, hakikat, dan makna nilai.
A. Pengertian
Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa
Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios” yang artinya layak;
pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa
pengertian secara istilah, yaitu:
- Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari
sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh
manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis,
emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah
fenomena kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan
psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b. Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat
dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat
nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan
agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi,
cabang filsafat yang mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad
ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti epistimologis, etika, dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah
sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang
menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat
ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus
Filsafat menjelaskan tentang nilai yaitu sebagai berikut:
1.
Nilai dalam
bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya,
berlaku, kuat).
2.
Nilai ditinjau
dari segi Harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai,diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
3.
Nilai ditinjau
dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai
sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak
bernilai” atau “nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya
(jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
4.
Nilai ditinjau
dari seudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali mengunakan secara umum kata “nilai”.
Kattsoff
dalam Soejono Soemargono (2004:318),
mengatakan bahwa nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan
kata baik, walaupun fakta baiknya, bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik
(what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
B. Konsep
Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan
komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui
fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud
apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka
nilai harus merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam
sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula
dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun
1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber
nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai
melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki
nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.
1. Persoalan
Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan
sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan
atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling
meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di
antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu,
dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat
persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan
teringat peribahasa latin yang sering diucapkan: “selera tidak dapat
diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis
de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat
yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat
menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama
aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang
persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang
telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin
berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang
menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu
alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).
2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat
dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena
kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut
memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai
kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena
kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi
reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai
terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau
subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti
itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar
tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika
ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai
itu“subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya
merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif
(kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui
ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar
atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat
dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek
seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa
nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada dalam dunia
nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau
hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai
adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh
argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi
itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas
Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling,
Alexander, dan lain-lain.
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan
pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan
ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau
situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai
memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung
mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan
kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu
nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan
pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme
aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume,
Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai
dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta
akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat
(subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam
arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme
aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.
4. Nominalisme
atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada
pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha
untuk membujuk yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah
mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan.
Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau
suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara
makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula
emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu
yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara
faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu
subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain:
Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai
dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze
(1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai.
Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya,
tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat
nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan
tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan
sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata
dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme
nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih
baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada
(al-mawjud).
6. Nilai
dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung
pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi,
nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada
eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan
emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan
irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri
khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal
seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual
selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
C. Karakteristik
dan Tingkatan Nilai
Ada beberapa
karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisik.
2. Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi,
apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau, serta akan
berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak
lain, ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan
atau harapan manusia.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan
dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1.
Kaum
Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap
tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada nilai non
spiritual (niai material).
2.
Kaum
Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan
empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas
objektif, hukum-hukum alam, dan aturan berfikir logis.
3.
Kaum
Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan
baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan
memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang
menghargai masyarakat.
D. Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat
kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
a. Etika dan Pendidikan
·
Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani)
yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam
bidang etika menyebutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti
kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis
tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Jadi,
etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang
perilaku manusia.
·
Filsafat
Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki
hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk
mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit
membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika
agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat
dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan
etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari
perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu
siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem
pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral-pendidikan
Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan
pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap
memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang
dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
b. Estetika dan Pendidikan
·
Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
·
Filsafat
Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan
kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia
pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada
tiga interpretasi tentang hakikat seni:
1.
Seni
sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2.
Seni
sebagai alat kesenangan.
3.
Seni sebagai
ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah
nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan
yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan
pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan
kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
E.
Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan,
undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki
harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada
dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul
sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa
macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan
yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu
harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah),
mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai
tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang
diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Filsafat
nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala
yang bernilai secara filosofis, mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada
hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Disamping itu, aksiologi berhubungan dengan
etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun
obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau
buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga
dengan mengetahui nilai maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens. 2005. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
O. Kattsoff,
Louis. (2004). Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gazalba, Sidi. (2002). Sistematika Filsafat, Buku keempat,
Pengantar Kepada
Teori
Nilai. Jakarta : Bulan
Bintang.“Filsafat Nilai”. Melalui
<https://sites.google.com/site/rosadteaconr/artikel/filsafat-nilai-aksiologi>
[28/09/15]
a yang menjadi tujuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens. 2005. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
O. Kattsoff,
Louis. (2004). Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gazalba, Sidi. (2002). Sistematika Filsafat, Buku keempat,
Pengantar Kepada
Teori
Nilai. Jakarta : Bulan
Bintang.“Filsafat Nilai”. Melalui
<https://sites.google.com/site/rosadteaconr/artikel/filsafat-nilai-aksiologi>
[28/09/15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar