Senin, 07 Desember 2015

EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT

EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT



EPISTIMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI, PENGETAHUAN FILSAFAT
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga disini. Yang dimaksud struktur filsafat disini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan disini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Dalam hakikat pengetahuan filsafat, Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, I:3). Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9). Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan :
-          Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.
-          Epistimologi membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu.
-          Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.
Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain.
Epistimologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut epistimologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan Aksiologi hanya mencakup satu bidang filsafat yaitu aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat itu ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis berarti benar dan bila tidak logis berarti salah. Ada hal yang patut diingat. Kita tidak boleh menuntut bukti empiris untuk membuktukan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Bila logis dan tidak empiris itu adalah pengetahuan sains. Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis dan tidaknya teori itu. Ukuran logis dan tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan teori itu.
Ontologi Pengetahuan Filsafat
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga disini. Yang dimaksud struktur filsafat disini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan disini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan disini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika filsafat. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Jadi ontology adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat ilmu mengatakan, ontology membahas tentang yang ada,yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, menurut istilah, ontology ialh ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret mauun rohani/abstrak.
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga disini. Yang dimaksud struktur filsafat disini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan disini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan disini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika filsafat.
Di dalam pemahaman ontology dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1.      Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari selruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja  sebagai sumber yang asal, baik yang asal beupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
2.      Dualisme
Pandangan ini mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualism. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya.
3.        Pluralisme
Paha mini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
4.         Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif.
5.       Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Timbulnya alirqan ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Hakikat Pengetahuan Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, I:3). Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9). Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya mencoba menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian. Dalam uraian itu diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum lengkap. Dan dari situ akan dapat ditangkap apa itu pengetahuan filsafat. Poedjawijatna (Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974:11) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry (Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Ciri khas filsafat ialah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris). Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya mengatkan filsafat itu hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the atemp to answer ultimate question critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, 1960:10). D. C. Mulder (Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966: 10) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. William james (Encyclopedia of Philosophy, 1967:219) menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective name for question which have asked them. Namun dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah menyebutkan intisari filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan logis dan tidak empiris. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan :
- Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.
- Epistimologi membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu.
- Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.
Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistimologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut epistimologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan Aksiologi hanya mencakup satu bidang filsafat yaitu aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.
Epistimologi Pengetahuan Filsafat
Epistimologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat. Istilah Epistemologi di dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata “episteme” dan ”logos”. Epistime berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih rinci di sebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalan dan radikal tentang asal mula pengetahuan, structure, metode, dan validitas pengetahuan.
Di samping itu terdapat beberapa istilah yang maksudnya sama dengan epistemologi ialah:
1.      Gnosiologi
2.      Logikal material
3.      Criteriologi
Keseluruhan istilah tersebut di atas di dalam bahasa Indonesia pada umumnya disebut filsafat pengetahuan. Dalam rumusan lain di sdebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak,batas –batas dan berlakunyailmu pengetahuan: demikian rumusan yang di ajukan oleh J.A.N. Mulder. Sebenarnya banyak ahli filsafat (filosof) maupun sarjana filsafat yang merumuskan tentang epistemologi atau filsafat pengetahuan. Apabila keseluruhan rumusan tersebut di renungkan maka dapat di fahami bahwa prinsipnya epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas – batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan epitemologi adalah terjadinya pengetahuan,teori kebenaran, metode – metode ilmiah dan aliran – aliran teori pengetahuan.
a.      Terjadinya Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Di dalam mengetahui memerlukan alat yaitu: pengalaman indra (sence experience); nalar (reason); otoritas (authority); intuisi (intitution); wahyu (revelation); dan keyakinan (faith). Sepanjang sejarah kefilsafatan alat – alat untuk mengetahui tersebut memiliki peranan masing – masing baik secara sendiri – sendiri maupun berpasangan satu sama lain tergantung kepada filosof atau faham yang di anutnya. Dalam hal ini dapat di lihat bukti – bukti sebagai berikut :
Pengetahuan di dapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat di tetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Jika kesan–kesan subjektif di anggap sebagai kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran–gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan di mulai dengan gambaran–gambaran indrawi. Gambaran–gambaran itu kemudian di tingkatkan sampai kepada tingkatan–tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan–kesimpulan, tetapi di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea–idea yang berkaitan dengan Allah. Disini orang di masukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal. Demikian menurut Baruch Spinoza sebagai salah seorang tokoh Resiesinalisme. Pandangan Spinoza agak berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes sebagai salah seorang tokoh empirisme yang hidup pada tahun 1588 -1679. Menurutnya pengenalan atau pengetahuan di peroleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Juga awal pengetahuan tentang asas–asas yang di peroleh dan di teguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan di turunkan dari pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian.
Pengalaman dengan akal hanya mempunyai fungsi mekanisme semata – mata sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal mukai dengan memakai kata–kata ( pengertian–pengertian), yang hanya mewujudkan tanda–tanda yang menurut adat saja, dan menjadikan roh manusia dapat memiliki gambaran dari hal – hal yang di ucapkan dengan kata–kata itu. Pengertian–pengertian umum hanyalah nama saja, yaitu nama–nama bagi gambaran–ganbaran ingatan tersebut, bukan nama–nama bendanya. Nama–nama itu tidak mempunyai nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan dua nama, sedang silogisme adalah suatu soal hitung, di mana orang bekerja dengan tiga nama. Yang di sebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan, yang di simpan di dalam ingatan dan di tentukan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda – benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini di teruskan kepada otak dan dari otak di teruskan ke jantung. Di dalam jantung timbulah suatu reaksi suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengmatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat–sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek–objek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar, bukan berada di dalam objek, melainkan di dalam subjeknya. Sifat sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan todak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata–mata pada asosiasi gambaran–gambaran yang murni bersifat mekanis. Sementara itu salah seorang tokoh empirisme yang lain berpendapat bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan di dapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akalis.  Satu – satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan – gagasan atau ide – ide yang timbulnya karena pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman bathiniah ( reflection). Pengalamn lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal – hal yang di luar kita, sedangkan pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan – keadaan psikis kita sendiri. Kedua macam pengalaman ini jalin menjalin. Pengalaman lahiriah menghasilkan gejala–gejala psikis yang harus di tanggapi oleh pengalaman batiniah. Objek–objek pengalaman lahiriah itu mula – mula menjadi isi pengalaman, karena di hisapkan oleh pengalaman bathiniah, artinya objek – objek itu tampil dalam kesadaran. Dengan demikian menganal adalah identik dengan mengenal secara sadar. Dalam hal ini Locke sama dengan Descrates. Segala sesuatu yang berada di luar kita menimbulkan didalam diri kita gagasan – gagasan dari pengalaman lahiriah. Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut Sistematika Filsafat. Sistematika atau struktur filsafat dalam garis besar terdiri atas ontologi, epistimologi dan aksiologi. Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)-nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika ia memikirkan hukum maka jadilah Filsafata Hukum, dan lain sebagainya. Inilah objek filsafat. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sains. Sains hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat.
Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan) cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan dan mempertanggungjawabkannya lebih dahulu cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof bukan orang yang gegabah. Berfilsafat ialah berfikir. Berfikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai diluar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu. Manusia memperoleh pengetahuan filsafat dengan berpikir secara mendalam tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikirannya sesuatu yang konjret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian “di belakang” objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti smpai tanda tanya. Dia tidak dapat maju lagi, di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.
a.      Ukuran Kebenaran Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat itu ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis berarti benar dan bila tidak logis berarti salah. Ada hal yang patut diingat. Kita tidak boleh menuntut bukti empiris untuk membuktukan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Bila logis dan tidak empiris itu adalah pengetahuan sains. Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis dan tidaknya teori itu. Ukuran logis dan tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan teori itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada pengetahuan sains. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen bukan pada kekuatan konklusi. Karena argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan oleh argumennya.
2.5. Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Dalam aksiologi diuraikan dua hal, yang pertama tentang kegunaan pengetahuan filsafat dan yang kedua tentang cara filsafat menyelesaikan masalah. Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. singkatnya ilmu merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidupnya. Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, dan ketiga filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life). Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Jika anda tidak senang pada komunisme maka anda harus mengetahui Marxsisme, karena teori filsafat untuk komunisme itu ada dalam Maxsisme. Jika anda menyenangi ajaran syi’äh Dua Belas di Iran, maka anda hendaknya mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika anda hendak membenuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka anda tidak dapat mengelak dari penggunaan teori filsafat. Jadi, mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang akan menjadi  pengajar dalam bidang filsafat. Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapi. Disini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia ( world view). Dalam hidup kita banyak menghadapi masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan lebih enak jika masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit. Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.
Kesimpulan
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga disini. Yang dimaksud struktur filsafat disini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan disini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan disini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika filsafat.
Di dalam pemahaman ontology dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnostisisme. Epistimologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat. Istilah Epistemologi di dalam bahasa inggris di kenal dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata “episteme” dan ”logos”. Epistime berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih rinci di sebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalan dan radikal tentang asal mula pengetahuan, structure, metode, dan validitas pengetahuan. Pengetahuan di dapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat di tetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Jika kesan–kesan subjektif di anggap sebagai kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran–gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan di mulai dengan gambaran–gambaran indrawi. Gambaran–gambaran itu kemudian di tingkatkan sampai kepada tingkatan–tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan–kesimpulan, tetapi di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea–idea yang berkaitan dengan Allah. Disini orang di masukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal. Demikian menurut Baruch Spinoza sebagai salah seorang tokoh Resiesinalisme. Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia ( world view). Dalam hidup kita banyak menghadapi masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan lebih enak jika masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit. Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.


DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar