ALIRAN REKONSTUKRUKSIONISME
Aliran Rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris rekonstruct yang
berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perennialisme. Walaupun demikian
prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan
prinsip yang dipegang oleh aliran perennialisme. Keduanya mempunyai misi dan
cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliaran perennialisme memilih cara
tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuh dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas dan menganai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan manusia
(Depag RI, 1984: 31)
Untuk mencapai tujuan
tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia
atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan dan seluruh lingkunganya. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa
tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa.
Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan
membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang
besar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga
terbentuk dunia yang baru dalam pengawasan umat manusia.
Aliaran ini juga memiliki persipsi bahwa masa
depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat
secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi
kenyataan, sehinnga dapat diujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi
teknologi, maupun meningkatkan khualitas keshatan, kesejahteraan dan kemakmuran
serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan,
nasionalisme, agama(kepercayaan), dan masyarakat bersangkutan.
1. Pandangan
Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangakan tentang bagaimana hakikat dari segala
sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relita itu bersifat
unuversal yang mana relita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Untuk
mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit sebagimana yang kita
lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia dan realita yang
kita ketahui tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai
dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Pada prinsipnya aliaran rekonstruksionisme
memandang alam metefisika merujuk dualisme, aliaran ini berpendirian bahwa alam
nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi
dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan
berdiri sendiri dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam.
Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapat kualitas sebagi pendorong dan
merupakan penyebab utama atas kuasa prima. Kuasa prima, dalam konteks ini ialah
tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualisasi murni
yang sama sekali sunyi dan substansi.
2. Pandangan
Epistemologi
Kajian
Epistemologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme dan
perennialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam
nyata memerlukan suatu asas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami
realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan.
Karena baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan
akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran
ini juga berpendapat bahwa dasar suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan bukti
yang ada pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Kajian tentang kebenaran
itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar
sampai kepada pemikiran yang hakiki. Pandangan ilmu dan filasafat tetap diakui
urgensinya, dikarenakan analisa emperis dan analisa antologis dapat dianggap
komentil, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh
hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan.
Namun demikian, meskipun filsafat ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna,
tetap disetujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu
pengetahuan.
3. Pandangan
Akiologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga
halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin
melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah
melakukan proses penilaian.
Barnadib (1992:69) mengungkapkan bahwa aliran rekontruksionisme memandang
masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural
universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia
adalah emanasi (pancaran) yang pontesial yang berasal dari dan dipimpin oleh
Tuhan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi
kebaikan dan keburukan sesuai dengan khodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi
nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai
peranan untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari
filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada
prinsip-prinsip dari praktik-praktik dalam tindakan-tindakan moral, kreasi
estetika dan organisasi politik. Aristoteles memandang bahwa
kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan
kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan bersdasarkan pembiasaan
dan merupakan dasar dari kebijakan intelektual.
Aliran-aliran
Filsafat Pendidikan Modern
A. Aliran progressivisme
Progressivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa
kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan,
dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme Karena
aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen, untuk menguji
suatu teori. Progressivisme dinamakan karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian (Noor Syam, 1987: 228-229).
Tokoh-tokoh Progressivisme antara lain :
1. Wiliam James
2. John Dewey
3. Hans
Vaihinger
4. Ferdinant
Schiller dan George Santayana
1. Pandangan
Ontologi
Ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang
kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah
perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika
ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Jelaslah, bahwa
selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian
yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme,
ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang
ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau
maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan
jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih
berganti.
2. Pandangan
Epistemologi
Progresivisme mengadakan pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran.
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kebiasaan yang
terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman.
Pengetahuan harus sesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam
lingkungan. Sedangkan kebenaran adalah kemampuan suatu ide dalam memecahkan
masalah.
3. Pandangan
Aksiologi
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya
relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Bahasa adalah sarana
ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari
individu-individu (Barnadib, 1987: 31. 12). Nilai itu benar atau salah, baik
atau buruk dapat dikatakan ada apabila menunjukkan kecocokan dengan hasil
pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
4.
Progressivisme dalam Pendidikan
Progressivisme merupakan aliran filsafat yang terlahir di Amerika Serikat abad
ke-20. John S. Brubacher, mengatakan bahwa filsfat progressivisme bermuara pada
aliran filsafat pragmatisme yang dikenalkan oleh William James (1842-1910) dan
John Dewey (1859-1952), yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Filsafat progressivisme sama dengan pragmatism karena dipengaruhi oleh ide-ide
dasar filsafat pragmatisma di mana telah memberikan konsep dasar dengan asas
yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap survive (mempertahankan
hidupnya) terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi
manfaatnya.
Filsafat progressivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak
absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya, nilai-nilai yang dianut
bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh
Imanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progressivisme yang
meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan
martabat pribadi (Zuhairini, 1991: 21). Dengan demkian filsafat progressivisme
menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai
demokratis. Sehingga progressivisme dianggap sebagai The Liberal Road of
Culture (kebebasan mutlak untuk menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai
yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open
minded).
Filsafat progressivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progress
(maju) bertindak secara konstruktif, novatif dan reformatif, aktif serta
dinamis. Filsafat progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah
manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man’s natural powers). Di
sini tersirat bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam
segala situasi baru atau yang mengandung masalah.
Aliran filsafat progressivisme menempatkan manusia sebagai makhluk biologis
yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku (subjek)
di dalam hidupnya.
Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan pada abad ke-20 ini di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan
dan kebebasan kepada anak didik. Filsafat progressivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas
para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi
pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis
anak didik.
Filsafat progressivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil
budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku,
melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia
yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan
itu (Barnadib, 1992: 24).
Pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru
haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhirnya akan dapat
memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga
keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas
unggul, berkompetitif, inisiatif, adaptip dan kreatif sanggupmenjawab tantangan
zamannya.
Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau
kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana
apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan
dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan “ Belajar Sambil Berbuat”
(Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem Solving) dengan
langkah-langkah menghadapi prolem, mengajukan hipotesa (Suwarto, 1992: 123).
Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat
progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus
maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
a.
Asas Belajar
Pandangan mengenai belajar, filsafat
progressivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasaan
sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan mahluk lain.
Kelebihan ini merupakan bekal untuk menghadapi dan memecahkan
problema-problemanya.
Pendidikan sebagai
wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah
berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang
berkembang. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maka dari itu dinding pemisah antara
sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup
disekolah saja.
Jadi sekolah yang
ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Untuk itulah filsafat progressivisme menghendaki isi
pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by
doing (Zuhairini, 1991: 24)
Perlu diketahui
bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan
pengetahuan) akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau
pemindahan nilai-nilai, sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik
secara fisik maupun psikis. John Locke (1632 – 1704) mengemukakan, bahwa
sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan
pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan anak (Suparlan 1984: 48).
Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), mengatakan anak harus di didik
sesuai dengan alamnya, jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan
miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dengan dunianya sendiri,
yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa (Ahmadi, 1992: 34-35).
Disamping itu, anak didik
harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan
cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan
daya kreasi anak.
John Dewey ingin
mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:
1. Memberi
kesempatan murid untuk belajar perorangan.
2. Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui
prngalaman.
3. Memberi
motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat
menjelaskan kea rah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik.
4. Mengikutsertakan
murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok
anak.
5. Menyadarkan
murid bahwa hidup itu dinamis.
Imam Barnadib dalam
Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, mengemukakan: progresivisme menghendaki
pendidikan yang progersif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai
rekonstruksi pengalaman yang terus menerus.
Dari uraian di atas,
dapatlah diambil suatu konklusi asas progressivisme dalam belajar bertitik
tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia
seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda
kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif
dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
b.
Pandangan Kurikulum Progessivisme
Menurut Iskandar
Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat
member jaminan para siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus
mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta member
keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya
melalui bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan
baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki
keuntungan-keuntungan diperiksa setiap saat (Iskandar & Usman, 1988: 68).
Pendidikan dilaksanakan di
sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu
perkembangan pribadi anak. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai
dengan zamannya. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang
tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat
memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurukulum yang dapat direvisi
dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core
Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada
pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya
selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Dengan adanya mata
pelajaran yang terintergrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang
secara fisik maupun dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotor.
Metode problem solving dan
metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1951) dan dikembangkan oleh
W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan memerapkan metode problem
solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari
bentuk pengajaran tradisional dimana adanya verrbalisme pendidikan.
Pengajaran program unit
akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang
lain dan akan lebih menumpuk semangat demokrasi pendidikan (Suparlan, 1988:
143).
W.H Kilpatrick dalam
Arifien (1987:93) mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan
atas tiga prinsip:
1.
Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada
tiap jenjang.
2.
Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah
perkembangan dalam duatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3.
Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai
uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam
kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk
diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan
efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melaui pertimbangan yang matang.
c.
Pandangan Progressivisme Tentang Budaya
Filsafat progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan
membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
kultural dan tantangan zaman ,sekaligus menolong manusia menghadapi transisi
antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan
kualitas hidup yang terus maju.Dengan sifatnya yang iddle curiousity (rasa
keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa,cipta dan karsanya
telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
Filsafat progressivisme yang memiliki konsep manusia memiliki
kemampuan-kemampuan yang dapat memecahkan problematika hidupnya,telah
mempengaruhi pendidikan,di mana dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah
dapat mempengaruhi manusia untuk maju (progress)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar