Senin, 07 Desember 2015

ALIRAN REKONSTUKRUKSIONISME

ALIRAN REKONSTUKRUKSIONISME

Aliran Rekonstruksionisme
               Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perennialisme. Walaupun demikian prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perennialisme. Keduanya mempunyai misi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliaran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuh dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan menganai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan manusia (Depag RI, 1984: 31)
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkunganya. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa.  Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang besar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia yang baru dalam pengawasan umat manusia.
Aliaran ini juga memiliki persipsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehinnga dapat diujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, maupun meningkatkan khualitas keshatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama(kepercayaan), dan masyarakat bersangkutan.
1.      Pandangan Ontologi
            Dengan ontologi, dapat diterangakan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relita itu bersifat unuversal yang mana relita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit sebagimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia dan realita yang kita ketahui tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
 Pada prinsipnya aliaran rekonstruksionisme memandang alam metefisika merujuk dualisme, aliaran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapat kualitas sebagi pendorong dan merupakan penyebab utama atas kuasa prima. Kuasa prima, dalam konteks ini ialah tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualisasi murni yang sama sekali sunyi dan substansi.
2.      Pandangan Epistemologi
       Kajian Epistemologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme dan perennialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu asas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang  ilmu pengetahuan. Karena baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
       Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Pandangan ilmu dan filasafat tetap diakui urgensinya, dikarenakan analisa emperis dan analisa antologis dapat dianggap komentil, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
3.      Pandangan Akiologis
            Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian.
            Barnadib (1992:69) mengungkapkan bahwa aliran rekontruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang pontesial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan khodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peranan untuk memberi penentuan.
            Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktik-praktik dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik.   Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan bersdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebijakan intelektual.
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Modern
A.    Aliran progressivisme
            Progressivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme Karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen, untuk menguji suatu teori. Progressivisme dinamakan karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian (Noor Syam, 1987: 228-229).
Tokoh-tokoh Progressivisme antara lain :
1.      Wiliam James
2.      John Dewey
3.      Hans Vaihinger
4.      Ferdinant Schiller dan George Santayana
1.      Pandangan Ontologi
            Ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.
2.      Pandangan Epistemologi
            Progresivisme mengadakan pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan harus sesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Sedangkan kebenaran adalah kemampuan suatu ide dalam memecahkan masalah.
3.      Pandangan Aksiologi
            Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu (Barnadib, 1987: 31. 12). Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada apabila menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
4.      Progressivisme dalam Pendidikan
            Progressivisme merupakan aliran filsafat yang terlahir di Amerika Serikat abad ke-20. John S. Brubacher, mengatakan bahwa filsfat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang dikenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952), yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
            Filsafat progressivisme sama dengan pragmatism karena dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisma di mana telah memberikan konsep dasar dengan asas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
            Filsafat progressivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya, nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh Imanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progressivisme yang meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi (Zuhairini, 1991: 21). Dengan demkian filsafat progressivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis. Sehingga progressivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak untuk menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded).
            Filsafat progressivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progress (maju) bertindak secara konstruktif, novatif dan reformatif, aktif serta dinamis. Filsafat progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man’s natural powers). Di sini tersirat bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi baru atau yang mengandung masalah.
            Aliran filsafat progressivisme menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku (subjek) di dalam hidupnya.
            Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20 ini di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
            Filsafat progressivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu (Barnadib, 1992: 24).
            Pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhirnya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, inisiatif, adaptip dan kreatif sanggupmenjawab tantangan zamannya.
            Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan “ Belajar Sambil Berbuat” (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem Solving) dengan langkah-langkah menghadapi prolem, mengajukan hipotesa (Suwarto, 1992: 123).
            Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
a.             Asas Belajar
 Pandangan mengenai belajar, filsafat progressivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasaan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan mahluk lain. Kelebihan ini merupakan bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.
     Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup disekolah saja.
     Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya  berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Untuk itulah filsafat progressivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24)
     Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan) akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nilai-nilai, sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. John Locke (1632 – 1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan anak (Suparlan 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), mengatakan anak harus di didik sesuai dengan alamnya, jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa (Ahmadi, 1992: 34-35).
Disamping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak.
          
  John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:
1.     Memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan.
2.      Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui prngalaman.
3.     Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat menjelaskan kea rah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik.
4.     Mengikutsertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak.
5.     Menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis.
     Imam Barnadib dalam Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, mengemukakan: progresivisme menghendaki pendidikan yang progersif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus.
     Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progressivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif  kreatif dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
b.            Pandangan Kurikulum Progessivisme
Menurut Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat member jaminan para siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta member keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan diperiksa setiap saat (Iskandar & Usman, 1988: 68).
Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurukulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Dengan adanya mata pelajaran yang terintergrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Metode problem solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1951) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan memerapkan metode problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional dimana adanya verrbalisme pendidikan.
Pengajaran program unit akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih menumpuk semangat demokrasi pendidikan (Suparlan, 1988: 143).
W.H  Kilpatrick dalam Arifien (1987:93) mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
1.     Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2.     Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam duatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3.      Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melaui pertimbangan yang matang.
c.              Pandangan Progressivisme Tentang Budaya
            Filsafat progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri  dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman ,sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
            Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang terus maju.Dengan sifatnya yang iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa,cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
            Filsafat progressivisme yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat memecahkan problematika hidupnya,telah mempengaruhi pendidikan,di mana dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah dapat mempengaruhi manusia untuk maju (progress)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar