Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata
menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner
yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya
sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum
pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan
Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai
penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak
suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan
falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan
Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan
Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia
sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai
kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan,
sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus
yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan
pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali.
Siti Jenar dianggap telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan
kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan
huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh
karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali
ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa
Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal
kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada
yang mengatakan bunuh diri).
Akan
tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik,
berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang
tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu
cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan
salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang
memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana
Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang
beragama Islam.
Nama
lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang,
Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi
Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954)
dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat
Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah
perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,
ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan
Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat
derajatnya sebagai Wali.
Dalam
naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia
berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang
mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa.
Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan
bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya
kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar
(Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya
belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui
Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam
untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat
dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang
berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging
Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo)
dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka
ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung
Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan
Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi
tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu
Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun
1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari
Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang
dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng
Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus
atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang
kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu
Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan
Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I)
yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan
Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam
yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa
penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi
Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam
pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo
(1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan
dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
· Siti
Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana
sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan
di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak
ada asal-usul serta tujuannya;
· Hyang
Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan
berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap
sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip
atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari
ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan,
menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui
keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
· Siti
Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat,
sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud
penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana,
tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan
yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang
terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
· Segala
sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha
suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak
pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma
itu sebetulnya ada pada diri manusia;
· Wujud
lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad
bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat
pancaindera;
· Kehendak
angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal
atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan
pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka
disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai
penampilannya;
· Bumi
langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk
bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia,
tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo, dikatakan bahwa:
· Tuhan
itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi
dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud
samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
· Siti
Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk
lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai
Tuhan;
· Sedangkan
mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang
terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha
Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal
kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
· Hidup
itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan
(buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang
busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah
kematian jasad di dunia;
· Jiwa
yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu
badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari
dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga
adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931), dikatakan bahwa:
· Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
· Ia
menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata,
dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah
sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain: ada, tak bermula,
tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa
bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,
hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut
DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat,
akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan
keramah-tamahan;
· Tuhan
itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit
dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan
duniawi.
Menurut
buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder,
SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat surga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Surga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang ke semuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan surga
sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah
oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan
(ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara
saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti
Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat
Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan
dilengkapi panca indera
maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah
manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu
alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan
Tuhan dalam keabadian.
Siti
Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh
manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena
proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya
kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono
dalam bukunya Al-Jami’ah (1962), dikatakan
bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah
tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup
kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami
di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan
demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran
kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari
pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi
tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan
(Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna, dan
segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud,
yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari
ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra
Tuhan/Hyang Widi.
Namun
dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan
kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa
hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi
juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di
tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik
sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan
sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan
beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta
ajarannya yang dianggap“subversif”, yaitu
Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak
mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga
bergabung dengan Siti Jenar).
Bisa
jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran
terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi
spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini
politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang,
yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan
ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan
di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai
Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan
bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan
asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya
dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya
Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite)
sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang
lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau
ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan
bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran
yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas
dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya
aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa
pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau
Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan
pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara
konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman
tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam
bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh
laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling
penting dalam hidup ini.
Kalau
misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh
pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling
Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok
atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan
tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang
menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa
kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya,
Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman,
yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak
ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.