Sabtu, 19 Desember 2015

INDEX Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan


INDEX  Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

1.        Makalah Eksistensialisme
5.        Laporan Diskusi kelompok 6
7.        Teori Nilai
12.    Aliran Dualisme
14.    Filsafat ilmu
18.    Aliran Monisme
20.    Aliran Idealisme
26.    filsafat logika
38.    Filsafat politik
43.    SYEKH SITI JENAR

Senin, 07 Desember 2015

FILSAFAT DAN HIDUP SEHARI-HARI

FILSAFAT DAN HIDUP SEHARI-HARI

Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan berbagai macam pertanyaan yang muncul baik itu yang terpikirkan oleh kita maupun yang sebenarnya tidak pernah kita pikirkan. Berbagai aktivitas yang kita lakukan memiliki pelbagai macam persoalan-persoalan yang acap kali muncul dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Berfilsafat pun dapat diartikan bertanya-tanya disertai rasa heran. Dalam konteks yang ada, filsafat berperan sebagai hasil dari rasa heran terhadap apa yang menjadi pertanyaan yang akan kita lontarkan. Namun, berfilsafat pada kenyataannya pun tidak hanya mempertanyakan sesuatu yang dilihat, maupun dialami secara harfiah saja. Ada bagian-bagian atau waktu dimana pertanyaan-pertanyaan yang ada memiliki kualitas terhadap hidup itu sendiri. Dengan kita bertanya-tanya dalam dunia filsafat, sebenarnya kita justru bukan menjadi jauh dengan apa yang kita pertanyakan. Kita menjadi semakin intim dengan hal yang kita pertanyakan itu. Manusia sendirilah yang masuk, serta terlibat dalam permasalahan yang terjadi didalamnya. Kekuatan inilah yang membuat filsafat seakan-akan mempersatukan dimensi manusia sebagai subjek dengan permasalahan yang ada sebagai objek.
Selain itu, berfilsafat pun harus berhadapan dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang terjadi antar manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, maupun manusia dengan alampun menjadi suatu siklus dimensional yang menarik dalam dunia filsafat. Dalam hal ini, bahasa yang dimaksud ialah komunikasi yang terjadi antar makhluk yang ada didunia filsafat. Bahasa merupakan sistem lambang-lambang yang salit berkaitan. Sistematisasi dari lambang-lambang yang ada menimbulkan adanya suatu sikap dalam penerimaan kaidah-kaidah tertentu dalam kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Yang menarik dari bahasa yang digunakan oleh manusia ialah, bahasa yang digunakan manusia tidak terpatok dengan adanya kaidah-kaidah tertentu atau hanya hadir sebagai citra dari suatu keadaan manusia yang terus berkembang, yang dapat berubah dan berganti menurut lingkungan kebudayaan, kurun waktu tertentu, dan lingkungan bahasa tertentu. Disinilah peran filsafat dalam mencakup dimensi-dimensi bahasa yang ada guna mempersatukan presepsi orang tentang bahasa yang ada. Ada ilmu yang mempelajari komunikasi melalui sebuah lambang, yaitu semiotik. Dalam semiotik diberlakukan juga kaidah-kaidah mengenai tahapan komunikasi. Yang pertama mengatur lambang-lambang itu sendiri (syntaxis), yang kedua mengenai cara lambang menunjukan sebuah objek tertentu (semantik), dan yang ketiga mengenai hubungan sipemakai lambang (pragmatik).
 Dari ketiga hal inilah, didapat suatu struktur dalam kaidah berbahasa. Struktur yang dimaksud digunakan untuk mencari suatu keterangan-keterangan yang mendalam yang menggaris bawahi aneka macam peraturan yang berlaku dalam kancah pergaulan simbolis manusia. Struktur yang ada ini juga berperan dalam efektivitas serta efisiensi dari pelbagai permasalahan yang ada dalam dunia filsafat serta mampu bersinergi dengan siklus permasalahan yang ada guna menentukan jawaban-jawaban dalam pemecahan masalah tersebut. Berbicara mengenai bahasa lambang yang terstruktur tanpa berbicara mengenai akar-akar dari permasalahannya itu sendiri merupakan hal yang sia-sia. Dalam dunia filsafat, manusia juga diajak untuk mengetahui akar dari permasalah yang dipertanyakan mengenai kehidupan seseorang tersebut. Pengalaman-pengalaman yang ada, menjadi sebuah latarbelakang dari gambaran dunia secara sistematis yang terjadi dalam kehidupan manusia. Namun, dalam penarikan akar-akar permasalah yang ada, tentunya memperhatikan tatanan yang berlangsung secara fundamental dalam kesadaran insani setiap manusia. Manusia sendiri sebenarnya sadar kan dirinya sendiri maupun akan kehidupan dunia sekitarnya. Manusia sendiri memiliki kemampuan dalam menyajikan suatu sistem filsafat yang mampu digunakan dalam penafsiran-panafsiran kejadian-kejadian  berdasar pengalaman-pengalaman tertentu. Begitulah filsafat dapat mempengaruhi pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari.
Berbicara mengenai berbagai pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks berfilsafat. Ternyata mempunyai berbagai macam konflik-konflik yang menghiasi didalamnya. Konflik antara pengalaman dan filsafat dapat terjadi dengan begitu mudah karena pada dasarnya manusia memiliki naluri selalu ingin mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupannya. Yang menjadi perhatian disini ialah ketika dimana filsafat menjadi sebuah orientasi yang kadang-kadang membawa kita jauh diluar pengalaman yang ada dan memaksa kita untuk membantah pengalaman yang terjadi. Dalam konteks ini, filsafat mampu hadir sebagai suatu alat untuk mengkritisi dan mencari akar-akar dari pengalaman yang ada. Selain itu, dengan berfilsafat maka manusia dituntu untuk senantiasa berkelana dalam mencari jawaban tentang problematika yang hadir dalam pengalaman-pengalaman kehidupan manusia.

Manfaat Belajar Filsafat

Manfaat Belajar Filsafat

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami alam semesta, maknanya dan nilainya.

Dr. Oemar A. Hosein mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib akan kebenaran.
S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: Pembimbing ke Filsafat Metafisika, filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran-pikiran dan kematangan hati, sekalipun menghadapi maut.
Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy menyebutkan: Tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidupi, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menerapkan nilai, menerapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru.
Berbeda dengan pendapat Soemadi Soejabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajam pikiran maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun Metafisika (hakikat keaslian).
Manfaat mempelajari filsafat ada bermacam-macam. 
Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. Plato menghendaki kepala negara seharusnya filosuf. Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan memecahkan masalah secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, menemukan sebab terakhir satu penampakkan.

Dengan uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa secara kongkrit manfaat mempelajari filsafat adalah :
  • Filsafat menolong mendidik,
  • Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari.
  • Filsafat memberikan pandangan yang luas
  • Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri
  • Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.
Adapun manfaat belajar filsafat dalam kehidupan sehari-hari adalah:
  • Filsafat akan mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu secara multi dimensi.
  • Filsafat akan membantu kita untuk menilai dan memahami segala sesuatu tidak hanya dari permukaannya saja, dan tidak hanya dari sesuatu yang terlihat oleh mata saja, tapi jauh lebih dalam dan lebih luas.
  • Filsafat mengajarkan kepada kita untuk mengerti tentang diri sendiri dan dunia
  • Manfaat belajar filsafat akan membantu memahami diri dan sekeliling kita dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar.
  • Filsafat mengasah hati dan pikiran untuk lebih kritis terhadap fenomena yang berkembang. Hal ini akan membuat kita tidak begitu saja menerima segala sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui maksud dari pemberian yang kita terima.
  • Filsafat dapat mengasah kemampuan kita dalam melakukan penalaran. Penalaran ini akan membedakan argumen, menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis, melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas dan berbeda.
  • Belajar dari Para Filsuf lewat karya-karya besar mereka.
  • Kita akan semakin tahu betapa besarnya filsafat dalam mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, karya seni, pemerintahan, serta bidang-bidang yang lain.
  • Filsafat akan membuka cakrawala berpikir yang baru.
  • Ide-ide yang lebih kreatif dalam memecahkan setiap persoalan, lewat penalaran secara logis, tindakan dan pemikiran yang koheren, juga penilaian argumen dan asumsi secara kritis.
  • Filsafat membantu kita untuk dapat berpikir dengan lebih rasional.
  • Membangun cara berpikir yang luas dan mendalam, dengan integral dan koheren, serta dengan sistematis, metodis, kritis, analitis, dan logis.
  • Filsafat akan mengkondisikan akal untuk berpikir secara radikal.
  • Membuat kita berpikir hingga mendasar, sehingga kita akan lebih sadar terhadap keberadaan diri kita.
  • Filsafat membawa keterlibatan dalam memecahkan berbagaimacam persoalan–persoalan baik yang terjadi pada diri sendiri maupun orang lain, sehingga akan membuat kehidupan kita tidak dangkal, namun kaya akan warna.
  • Memiliki pandangan yang luas.
  • Manfaat belajar filsafat dalam hal ini, akan mengurangi kecenderungan sifat egoisme dan egosentrisme.
  • Filsafat Membantu menjadi diri sendiri
  • Lewat cara berpikir yang sistematis, holistik dan radikal yang diajarkan tanpa terpengaruh oleh pendapat dan pandangan umum.
  • Filsafat akan membangun landasan berpikir.
  • Komponen utama baik bagi kehidupan pribadi terutama dalam hal etika, maupun bagi berbagai macam ilmu pengetahuan yang kita pelajari.
  • Filsafat dengan sifatnya sebagai pembebas.
  • Manfaat belajar filsafat akan mendobrak pola pikir yang terbelenggu tradisi, mistis, dan dogma yang menjadi penjara bagi pikiran manusia.
  • Filsafat akan membuat kita dapat membedakan persoalan, terutama berbagai persoalan ilmiah dengan persoalan yang tidak ilmiah.
  • Filsafat dapat menjadi landasan historis-filosofis. Dalam hal ini, berasal dari berbagai macam kajian disiplin ilmu yang kita tekuni.
  • Filsafat dapat memberikan nilai dan orientasi pada semua disiplin ilmu.
  • Filsafat memberikan petunjuk lewat penelitian penalaran serta metode pemikiran reflektif, sehingga kita dapat menyelaraskan antara pengalaman, rasio, agama serta logika.
  • Filsafat dapat dijadikan alat untuk mencari kebenaran.
  • Memberikan pandangan serta pengertian mengenai hidup.
  • Filsafat dapat dijadikan sebagai pedoman, sehingga berguna sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan.
  • Filsafat mengajarkan kepada kita tentang etika dan moral. Pembelajaran moral dan etika ini,dapat diimplementasikan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
  • Filsafat dapat membangun semangat toleransi.
  • Menjaga keharmonisan hidup di tengah perbedaan pandangan atau pluralitas yang ada di kehidupan masyarakat.

Kontraversi Kehadiran Syekh Siti Jenar Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I





Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
·      Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
·      Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
·      Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
·       Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
·    Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
·      Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
·     Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo, dikatakan bahwa:
·      Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
·       Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
·     Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
·       Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
·    Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931), dikatakan bahwa:
·      Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
·      Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain: ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
·     Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat surga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Surga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang ke semuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan surga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi panca indera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962), dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna, dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggapsubversif”, yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti Jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat tak terbatas (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.