MAKALAH
EKSISTENSIALISME
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen
Pengampu Drs. Adang Heriawan, M.Pd.
Kelompok
6
Nama : 1. M.Zakky Wahyudin
2. Popi Amalia
3. Siti Badriyah
Kelas : IIIA Pendidikan Matematika
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
Kata Pengantar
Tiada
kata yang paling indah selain mengucapkan Alhamdulillah, puji dan syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, berkah dan rahmat
serta hidayah-Nya yang senantiasa selalu diberikan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “EKSISTENSIALISME”.
Dalam penyusunan makalah ini,
semua yang penulis lakukan tidak lepas dari doa dan dukungan beberapa pihak
yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhir
kata, besar harapan penulis semoga makalah
ini dapat
memberi manfaat, khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pihak-pihak yang
terkait.
Serang,
Oktober 2015
Penulis
Daftar Isi
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
Bab
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang MasalahB. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
Bab
II Pembahasan
A. Hakikat EksistensialismeB. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
C. Ciri-ciri Aliran Eksistensialisme
D. Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Bab
III Penutup
A. Kesimpula B. Saran
Daftar
Pustaka
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Sebagai
salah satu aliran besar dalam filsafat, secara khususnya dalam periodisasi
filsafat barat yang juga pernah menjadi salah satu aliran sangat penting di
abad ke-20. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala
dengan berpangkal pada eksistensi, yang secara umum diartikan sebagai
keberadaan.
Paham
ini memusatkan perhatiannya kepada manusia, maka kerena itulah filsafat ini
bersifat humanitis, yang mempersoalkan seputar keber-Ada-an manusia dan
keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan.
Dalam
studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat
Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya “human is condemned to be
free”, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah
kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai
derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas?
atau “dalam istilah orde baru”, apakah eksistensialisme mengenal “kebebasan
yang bertanggung jawab”? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah
satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap
individu adalah kebebasan individu lain.
Eksistensi
adalah cara manusia berada dalam dunia, yang mana cara berada manusia di dunia
ini amatlah berbeda dengan cara berada benda-benda yang tidak sadar akan
keberadaannya, juga benda yang satu berada di samping lainnya, tanpa hubungan.
Namun,
disamping itu semua manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Maka,
untuk membedakan antara benda dengan manusia dapat kita katakan bahwa benda
“berada” dan manusia “bereksistensi”.
Sehubungan
dengan itu semua maka, dalam makalah pengantar filsafat kali ini, penulis ingin
membahas tentang Eksistensialisme dan cara berfikirnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah hakikat dari eksistensialisme?
2.
Bagaimana latar belakang lahirnya eksistesialisme?
3.
Bagaimana ciri-ciri aliran eksistensialisme?
4.
Siapa sajakah tokoh-tokoh eksistensialisme?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menyelesaikan tugas
mata kuliah filsafat ilmu pendidikan.
2.
Mengetahui hakikat dari
eksistensialisme.
3.
Mengetahui latar belakang
lahirnya eksistensialisme.
4.
Mengetahui ciri-ciri aliran
eksistensialisme.
5.
Mengetahui tokoh-tokoh eksistensialisme.
D.
Metode
Penulisan
Penulis memperoleh data-data dalam penelitian dengan melakukan studi
pustaka. Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat
yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan
untuk dikumpulkan, dibaca, dikaji, dan dimanfaatkan dalam proses
pembuatan karya ilmiah. Penulis membaca buku- buku dan kumpulan mata pelajaran
yang berkaitan dengan penelitian ini.
Bab II
Pembahasan
A.
Hakikat Eksistensialisme
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto yang berarti, menempatkan. Secara umum berarti,
manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu
keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di
sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu
manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman
yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang
berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia
berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu
aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab
atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan
mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan
mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran
bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu
yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus
bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret.
B.
Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti
penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal
yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat
adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat
eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran
filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
- Materialisme
Menurut
pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada
prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu
yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya
memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama
saja dengan sapi.
- Idealisme
Aliran ini
memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan
aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain
selain pikiran.
- Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong
juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat
dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku
manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh
rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang
disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela,
nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami
krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu
memberikan makna pada kehidupan.
C.
Ciri-ciri Eksistensialisme
Dari sekian
banyak filsuf eksistensialisme atau eksistensialis yang memiliki pendapat dan
pemikiran berbeda dalam ke-eksistensialimeannya, dapat kita temukan ciri-ciri
yang sama, yang menjadikan sistem itu dapat di cap sebagai eksistensialisme.
Menurut Harun Hadiwijono (1990) ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanitis.
- Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
- Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya.
- Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalama yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
.
D.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme
a.
Soren
Aabye Kiekegaard
Soren
Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855
pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang
yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap
sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah
agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan
individu ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan
eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi
eksistensial.
Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya
yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit
untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan
apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard
"sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide pokok Soren Aabye
Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1)
Tentang
Manusia
Kierkegaard
menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi"
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman,
pilihan, keputus asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah
tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan
dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara
umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar
kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi
agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya
menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard
bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena
Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai
sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang
lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan
agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai
pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)
Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi
manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah,
bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini
semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi
dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya
bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya.
Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani
berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
·
Eksistensi
estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
·
Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada
hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai
dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual
(estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·
Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman
religius.
3)
Teodise
Menurut
Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat
jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas
segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya.
Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam
kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang
itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan
tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana
manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya
ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah
menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya
orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard
iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau
memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa
benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.
Inti
pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju
suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia
cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
b.
Friedrich
Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang
mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus
menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental
budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan
menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
c.
Karl
Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada
dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan
dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan
transendensi.
d.
Martin
Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September
1889 –meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal
Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas
fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting
Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia,
baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang
berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan
mereka.
e.
Jean
Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni
1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah
seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran
eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu.
Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun
Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah
sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000
orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir.
Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and
Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Bagi
Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti
dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup
dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee
(1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul
beban tanggung jawab.
Sartre
mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka
dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang
memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia
itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan
dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri
dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi
Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan
kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap
tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2) Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan
L'etre-en-Soi
Pemikiran
Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant
(Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau
:'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam
dirinya sendiri).
a) L'etre-en-Soi (being in itself/ada
dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi
sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga
paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu
hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai
masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.
L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa
dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada
dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi
di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa
menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang.
Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh
mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b) L'etre-pour-Soi
Konsep ini
tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan
di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung
jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang
pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia
sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang
disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada
obyek.
3) Mauvaise Foi
Konsep ini
menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan
tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga
mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima
atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4) Kebebasan
Dalam pemikiran
Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai
kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi
mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan
ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme
dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan
diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas.
Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila
seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan
merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi
kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan
itu sendiri.
Sartre
mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya
filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan
konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark
telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi
Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang
sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak
menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena
setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan
filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi
persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal
kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan
untuk masa kini.
Inti
pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1.
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
2.
Filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis seperti materialisme,
idealisme, serta situasi dan kondisi dunia.
3.
Ciri-ciri aliran eksistensialisme:
a.
Motif pokok
adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah
yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian
ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanitis.
- Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
- Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya.
- Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalama yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
4.
Tokoh-tokoh eksistensialisme:
- ·Soren Aabye Kiekegaard
- Friedrich Nietzsche
- Karl Jaspers
- Martin Heidegger
- Jean Paul Sartre
B. Saran
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada
pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang
dialaminya bukan diluar kita. Sebaiknya, manusia mampu menginterpretasikan
semuanya atas pengalamannya. Sebab tujuan pendidikan adalah memberi
pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru
adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru harus
sebagai motivator dan fasilitator.
Daftar Pustaka
Surajiyo,
Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar), Jakarta: Bumi Aksara.
Achmadi.
Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Surajiyo,
Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar), Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar